Minggu, 15 Februari 2009

MEMPERTANYAKAN ANGGARAN PENDIDIKAN

Anggaran dana pendidikan sebesar 20% dalam APBN dan APBD adalah amanat konstitusi yang tercapai setelah melalui perjuangan yang melelahkan. Sampai-sampai Mahkamah Konstitusi pun sudah mengeluarkan putusannya melalui SK No 13/PUU-CI/2008. Keputusan itu menegaskan agar pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah segera melaksanakannya melalui RAPBN 2009. Di pusat anggaran pendidikan tidak hanya dikelola oleh Depdiknas tetapi juga oleh Depag, melalui DAU, DAK dan Kementerian lain.
Belum lama ini Mendiknas melalui kebijakan Wajib Belajar dan ditindaklajuti Bupati dengan menurunkan kebijakan yang melarang satuan pendidikan setingkat SD dan SMP negeri untuk memungut biaya pendidikan.
Dalam pelaksanaan di lapangan keputusan itu menimbulkan persoalan yang tidak sederhana. Penerbitan kebijakan itu telah menimbulkan polemik dan benturan kepentingan. Melihat kebijakan Depdiknas itu sebenarnya masih ada klausul yang kontroversial, pertama masalah biaya operasional itu sendiri kedua klausul yang menyebutkan Pemda memenuhi kekurangan kebutuhan pendidikan yang belum dicukupi oleh APBN.
Di lapangan kebijakan itu dinilai tergesa-gesa, sehingga ada kesan saling lempar tanggungjawab. Kondisi itu berkembang menjadi polemic kontra persepsi dan dihawatirkan dapat menjadi kontraproduktif. Pertama kebijakan itu tidak sejalan dengan pemahaman bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara guru pemerintah dan masyarakat (Sisdiknas). Jika istilah tanggung jawab dijabarkan secara opersional maka muncul pengelolaan dan pembiayaan. Diskusi ini muncul oleh karena diantara warga masayarakat yang notabenenya walimurid tidak semua miskin. Sudah selayaknya warga miskin dibebaskan, akan tetapi bagaimana yang berada, sementara kemampuan pemerintah terbatas. Lain halnya jika memang pemerintah Daerah benar-benar mampu menutup kekurangan pembiayaan pendidikan yang dianggar oleh pemerintah pusat.
Kedua bahwa kewajiban Pemda memenuhi kekurangan biaya operasionall pendidikan, sejauh ini ternyata selalu muncul ketidak jelasan oleh karena alas an keterbatasan dana APBD, belum lagi kontrapersepsi mengenai komposisi 20% terhadap keseluruhan anggaran. Disana tidak dapat dipungkiri adanya tarik ulur kepentingan politis serta goodwill dari pejabat dan pimpinan daerah.
Akibat dari itu yang kemudian muncul adalah pendidikan dikorbankan dengan anggaran sekedarnya dari yang seharusnya mencukupi kekurangan dari APBN. Mengenai hal ini seolah terjadi saling lempar tangungjawab antara pemerintah pusat dan daerah.
Ketiga dii lapangan, jajaran pendidik yang berupaya mensikapi peraturan yang saling berbenturan ini merasa dipojokkan. Oleh karena ada ketidak jelasan pertanggungjawaban antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam masalah pembagian anggaran. Sementara masih kecil sekali jumlah sekolah setingkat pendidikan dasar dan menengah ( kurang dari 10% ) yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan. Padahal upaya untuk memenuhi standar masih diperlukan biaya sarana prasarana sekolah yang cukup tinggi. Ketika kebijakan itu belum terbit, sekolah dengan komite telah berupaya secara bertahap melengkapinya. Ketika kemudian muncul kebijakan yang baru, kebanyakan sekolah merasa adanya kebuntuan serta kepesimisan dengan melihat tarik ulur kepentingan politis yang ada.
Di tingkat satuan pendidikan setingkat SD dan SMP biaya operasional yang sudah mendesak karena operasional sekolah harus berjalan, seringkali dana BOS terlambat cair, sedang anggaran rutin terlambat diusulkan. Apakah keadaan seperti ini tidak mengarah kepada memojokan pendidik dan dikorbankannya misi pendidikan.
Dalam kaitan kebijakan, nampak sekali bahwa Pemda lebih berpihak kepada tuntutan politis adanya pendidikan dasar yang gratis. Kepala Sekolah dan guru merasa disudutkan. Disatu sisi pendidikan harus menuju standarisasi dengan peningkatan fisik dan mutu, disis lain tidak diberi jalan keluar pemenuhan kebutuhan mendesaknya.
Kebijakan juga tidak menjelaskan kebutuhan yang bersifat non operasional sehingga menimbulkan kesimpang siuran, mana yang kebutuhan operasional dan mana yang bukan operasional. Apakah kebutuhan laboratorium, perpustakaan termasuk operasional atau bukan. Di beberapa sekolah sebagai contoh, upaya pengembangan pembelajaran berbasis komputer dan internet sedang dikembangkan baik sarana maupun sumber daya manusianya. Upaya pengembangan mutu seperti itu termasuk oprasional atau bukan, masih menjadi polemik. Sementara pos anggaran untuk kebutuhan tersebut pada BOS tidak ada. Jika kebutuhan yang belum ada itu segera dipenuhi Pemda tentu tidak masalah. Kenyataan di lapangan masih terjadi kebuntuan yang berkepanjangan.
Keprihatinan dan kegalauan para manajer sekolah ( baca : kepala sekolah ) dan guru dikhawatirkan cukup serius, apabila tidak segera mendapat jalan keluar, bukan tidak mungkin hal sepert itu dihawatirkan dapat menimbulkan stagnan.
Kebijakan pemberian kewenangan ke daerah sebenarnya memiliki nilai strategis, karena pendidikan itu sendiri sesungguhnya akan meningkatkan kualitas sdm daerah. Peran kebijakan Pemda menjadi kunci kemajuan pendidikan. Daerah dapat mengembangkan kurikulum yang lebih mendekati kebutuhan riil daerah sampai dengan pengembangan keunggulannya. Pendidikan juga akan mendukung peningkatan daya saing daerah terhadap daerah lain. Karena itu maju mundurnya pendidikan di daerah sangat ditentukan oleh para pejabat di daerah itu sendiri. Apakah mereka memiliki visi yang jelas ataukah hanya sekedar mementingkan investasi yang lebih kongkrit dan instan.
Fakta serupa ditemukan dibeberapa daerah kabupaten yang merupakan inti pelaksana otonomi. Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas memang tidak bisa instan, butuh proses melalui pendidikan 5 – 10 tahunan. Pendidikan telah menjadi salah satu mata rantai pengembangan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan. Sulit untuk mengharapkan tenaga-tenaga yang ahli, ulet dan berjiwa wiraswasta. Political will dari para pejabat dan pimpinan daerah akan memberikan insprasi kepada jajaran pendidikan (baca pendidik) untuk bangkit memajukan daerah. Komitmen memajukan pendidikan serta upaya trobosan kreatf inovatif berbasis komitmen dan kemampuan mandiri daerah, merupakan komitmen dan unjuk kerja yang dtunggu dalam era otonom daerah sekarang ini.

Tidak ada komentar: